Bagi setiap muslim,
apalagi dai, berkewajiban
untuk mendekatkan diri
kepada Allah agar meraih
kecintaan-Nya. Dalam
sebuah hadits Qudsi
disebutkan: “Pendekatan
diri hamba-Ku yang paling
Aku cintai adalah dengan
sesuatu yang Aku
wajibkan padanya. Dan
jika hamba-Ku senantiasa
mendekatkan diri dengan
nafilah (ibadah tambahan)
, sehingga Aku
mencintainya.” (Bukhari)
Dalam hadits ini
menunjukkan bahwa
ibadah yang paling
dicintai Allah Ta’ala adalah
melaksanakan kewajiban.
Kewajiban terdiri dari
Fardhu Ain dan Fardhu
Kifayah. Fardhu Ain yaitu
kewajiban yang mengikat
setiap individu muslim,
seperti sholat lima waktu,
zakat, puasa, haji jika
mampu, berbakti kepada
orang tua, memberi
nafkah pada anak istri dan
lain-lain. Sedangkan
Fardhu Kifayah yaitu
kewajiban kolektif jika
sudah dilakukan oleh
orang lain maka gugurlah
kewajiban tersebut,
seperti menyelenggarakan
jenazah, menuntut
sebagian ilmu tertentu,
dakwah, amar ma’ruf nahi
mungkar, berjihad dan
lain-lain. Pada saat
tertentu Fardhu Kifayah
dapat berubah menjadi
Fardhu Ain, seperti
dakwah, amar ma’ruf nahi
mungkar, dan jihad.
Fardhu adalah pokok
sedangkan nafilah adalah
cabang. Nafilah dapat
melengkapi ibadah fardhu
dan dapat menutupi
kekurangannya. Seseorang
tidak dapat disebut
mengerjakan ibadah
nafilah jika meninggalkan
yang fardhu. Oleh karena
itu jika orang beriman
melaksanakan yang
fardhu kemudian
diteruskan dengan ibadah
tambahan, maka Allah
akan mencintainya.
Sehingga sangat salah
orang yang menyibukkan
pada ibadah yang sunnah
sementara meninggalkan
yang wajib.
Jadi, secara umum
pendekatan diri kepada
Allah dilakukan dengan
cara beribadah kepada
Allah.
IBADAH
Ibnu Taimiyah berkata,
ibadah adalah kata yang
mencakup semua
kebaikan, yaitu segala
perkataan dan perbuatan
baik lahir maupun batin
yang diridhai dan dicintai
Allah. Ibadah adalah
risalah dan misi besar
manusia. Hanya untuk
inilah Allah menciptakan
manusia dan jin (lihat Adz-
Dzariyat: 56). Dan hanya
untuk ini pula Allah
mengutus para nabi dan
rasul (lihat An-Nahl: 36).
Rasulullah saw. bertanya
pada Muadz bin Jabal,
“Wahai Muadz, tahukah
engkau apa hak Allah atas
hamba-Nya dan hak
hamba atas Allah?” Saya
berkata, “Allah dan rasul-
Nya yang paling tahu.”
Rasul saw. bersabda, “Hak
Allah atas hamba-Nya
adalah beribadah kepada-
Nya dan tidak
menyekutukan-Nya; dan
hak hamba atas Allah
adalah tidak mengadzab
orang yang tidak
menyekutukan
Allah. ” (Muttafaqun ‘alaihi)
Tetapi sangat
disayangkan, jika kita
melihat realitas manusia,
mayoritas mereka musyrik
atau menyekutukan Allah
dengan mahluk-Nya.
Bangsa-bangsa besar yang
menempati bumi ini
mayoritasnya musyrik
kepada Allah, mayoritas
manusia yang menempati
benua Amerika, Eropa,
Australia dan juga Asia
adalah orang-orang yang
mensyekutukan Allah.
Sekitar 6 milyar penduduk
dunia, hanya ¼ nya saja
yang mengakui muslim.
Dan umat Islam pun masih
banyak yang belum
menyembah Allah,
minimal dengan
menegakkan sholat.
Melihat realitas ini, maka
kewajiban yang paling
utama bagi orang-orang
beriman adalah
berdakwah mengajak
manusia agar beriman dan
beribadah kepada Allah
saja.
Orang-orang beriman
yang mengenal Allah
dengan sebenarnya,
mengenal hakekat dirinya
dan mengetahui
risalahnya, maka akan
melaksanakan ibadah
seoptimal mungkin, tetapi
pada saat yang sama
mereka sangat takut pada
Allah. Sebagaimana yang
disebutkan dalam surat Al-
Mu ’minun: 57-61,
“Sesungguhnya orang-
orang yang berhati-hati
Karena takut akan (azab)
Tuhan mereka, Dan orang-
orang yang beriman
dengan ayat-ayat Tuhan
mereka, Dan orang-orang
yang tidak
mempersekutukan
dengan Tuhan mereka
(sesuatu apapun), Dan
orang-orang yang
memberikan apa yang
Telah mereka berikan,
dengan hati yang takut,
(karena mereka tahu
bahwa) Sesungguhnya
mereka akan kembali
kepada Tuhan mereka,
Mereka itu bersegera
untuk mendapat
kebaikan-kebaikan, dan
merekalah orang-orang
yang segera
memperolehnya.
SYARAT IBADAH
Dalam beribadah dan
melakukan pendekatan
diri kepada Allah, sangat
terkait dengan syarat-
syaratnya agar ibadahnya
diterima. Dan syaratnya
hanya dua yaitu ikhlas dan
mengikuti sunnah Rasul
saw. atau Syariah Islam.
Inilah inti dari makna
syahadat yang kita
ucapkan. Rasulullah saw.
bersabda, “Sesungguhnya
Allah tidak menerima
amal kecuali dilakukan
dengan ikhlas dan
mengharap ridha-Nya.”
Berkata Fudhail bin Iyadh
mengomentari surat Al-
Mulk: 2, “Ahsanu ‘amala
(Amal yang paling baik)
adalah akhlasahu (yang
paling ikhlas) dan
ashwabahu (yang paling
benar).” Berkata,
“Sesungguhnya jika amal
dilakukan dengan ikhlas
tetapi tidak benar, maka
tidak diterima. Dan jika
amal itu benar tetapi tidak
ikhlas, juga tidak diterima
sehingga amal itu harus
ikhlas dan benar.” Iyadh
berkata, “Ikhlas dilakukan
karena Allah Azza wa Jalla,
dan benar jika dilakukan
sesuai sunnah.”
Ibadah yang dilakukan
umat Islam harus selalu
mengacu pada dua syarat
tersebut; jika tidak, maka
amalnya sia-sia bahkan
dapat mengarah pada
dosa. Rasul saw. bersabda,
“Siapa yang mengada-ada
pada urusan agama ini,
sesuatu yang sebelumnya
tidak ada, maka tertolak.”
(Bukhari dan Muslim).
Banyak sekali tradisi yang
berkembang di tengah
umat Islam, dan mereka
melakukannya seolah-
olah ibadah yang
diajarkan Rasulullah saw.
padahal tidak ada
landasannya sama sekali.
Di sinilah pentingnya para
ulama dan para dai yang
mengajarkan Islam
kepada umatnya dengan
penuh hikmah dan
kesabaran, sehingga umat
terhindar dari segala
macam syirik, khurofat,
takhayyul dan bid’ah.
HUKUM TAKLIFI
Dalam melaksanakan
ibadah, para ulama usul
menetapkan hukum taklifi
yang mengikat bagi para
mukallaf atau muslim
yang sudah dewasa.
Dengan memahami status
hukum dalam setiap
perbuatan, maka setiap
muslim berada dalam
kejelasan dalam setiap
urusannya. Para ulama
mendefinisikan hukum
taklifi atau hukum yang
terkait dengan perbuatan
yang dilakukan setiap
muslim yaitu arahan
Syariah (khitab syari’i)
yang terkait dengan
perbuatan setiap muslim
yang mukallaf (baligh),
baik bersifat permintaan
untuk melaksanakan,
permintaan untuk
meninggalkan maupun
pilihan antara
melaksanakan atau
meninggalakan.
Permintaan yang bersifat
mengikat atau harus
disebut wajib, sedangkan
yang tidak mengikat
disebut mandub atau
sunnah. Sedangkan
permintaan untuk
meninggalkan yang
bersifat harus disebut
haram dan yang tidak
bersifat harus disebut
makruh. Adapun pilihan
antara melaksanakan dan
meninggalakan disebut
mubah. Oleh karena itu
hukum dalam Fiqih Islam
terbagi menjadi lima,
yaitu wajib, mandub,
haram, makruh dan
mubah.
Setiap muslim yang
beriman pada hukum
Islam dan memahami
status hukum suatu
perbuatan dapat
mengetahui prioritas kerja
atau amal yang harus
dilakukan. Sehingga
baginya segala sesuatu
yang harus dilakukan
dalam kehiduan dunia
menjadi sangat jelas dan
tegas. Tetapi manakala
seorang muslim tidak
memahami status hukum
maka semuanya akan
mejadi kabur dan samar,
yang pada akhirnya dia
akan mengalami
kebingunagan dan
kekacauan dalam
hidupnya karena tidak ada
arahan dan prioritas kerja
yang harus dia lakukan
dalam kehidupannya di
dunia.
Wajib adalah suatu
perintah Syariat yang
harus dilakukan dan
bersifat mengikat, jika
ditinggalakan maka akan
mendapat sanksi atau
dosa dan jika dilaksanakan
akan mendapat pahala
atau balasan dari sisi Allah.
Wajib terbagi menjadi
dua; wajib aini, yaitu
kewajiban yang mengikat
atas setiap individu
muslim, seperti shalat lima
waktu, zakat, puasa, haji.
Dan wajib kifayah, yaitu
kewajiban yang mengikat
atas sekelompok umat
Islam.
Mandub adalah perintah
Syariat yang sebaiknya
dilaksanakan dan tidak
bersifat mengikat, atau
sesuatu yang jika
dilaksanakan
mendapatkan pahala dan
jika ditinggalkan tidak
terkena sanksi. Mandub
disebut juga sunnah,
tatowwu’, mustahab,
nafilah dan ihsan. Mandub
memiliki beberapa
tingkatan; Sunnah
Muakkadah, yaitu sesuatu
yang senantiasa dilakukan
oleh Rasul saw. tetapi
tidak sampai wajib, seperti
sholat witir, sholat
rawatib dan lain-lain.
Sunnah ghairu
Muakkadah, yaitu sunnah
yang tidak selalu
dilakukan oleh Rasul saw.
seperti sedekah secara
umum. Sunnah yang lain
adalah mencontoh Rasul
saw. pada masalah tradisi
yang tidak terkait
langsung dengan Syariat
seperti makan, minum dan
berpakaian ala Rasul saw.
Haram adalah perintah
Syariat untuk
meninggalkannya dan
bersifat harus atau
mengikat dan jika tidak
maka akan mendapat
sanksi atau dosa. Haram
terbagi menjadi dua, yaitu
haram li dzatihi dan
haram li ghairihi. Haram li
dzatihi diharamkan karena
jelas-jelas menimbulkan
bahaya langsung seperti
makan bangkai, berzina,
minum khomr, mencuri
dll. Sedangkan haram li
ghairihi,
pengharamanannya
karena tidak
menimbulkan bahaya
secara langsung seperti
melihat aurat wanita,
hukumnya tetap haram
karena mengarahkan pada
perzinahan. Haram li
ghairihi disebabkan juga
karena terkait dengan
momentum atau kasus
tertentu seperti
berdagang saat adzan
shalat Jum’at bagi lelaki,
atau shalat bagi wanita
yang haidh.
Haram Li Dzatihi dan
Haram Li Ghairihi memiliki
perbedaan pada dua hal,
pertama pada transaksi
atau akad. Haram li dzatihi
membatalkan akad
sedangkan haram li
ghairihi tidak. Kedua,
haram li dzatihi tidak
dapat menjadi mubah
kecuali karena darurat.
Sedangkan haram li
ghairihi menjadi mubah
cukup karena hajat.
Makruh adalah perintah
Syariat untuk
meninggalkannya yang
tidak harus atau mengikat.
Apabila pekerjaan itu
ditinggalkan maka akan
mendapat imbalan pahala
dan jika dilakukan tidak
mendapatkan apa-apa.
Adapun mubah adalah
pilihan Syariat untuk
mengerjakan atau
meninggalkannya. Mubah
dapat diketahui dari tiga
hal, yaitu jika melakukan
atau meninggalkan tidak
ada dampak sanksinya,
nash tidak menunjukkan
haram dan nash
menunjukkan halal.
Namun demikian, seorang
muslim yang baik
berupaya untuk
mengharap kebaikan dan
pahala pada amal-amal
yang mubah, yaitu dengan
niat yang baik dan
mengarahkan yang
mubah untuk sarana taat
pada Allah. Begitu juga dia
berusaha meninggalkan
sebagian yang mubah
karena khawatir jatuh
pada yang diharamkan.
KONDISI MUKALLAF
(MUSLIM)
Setiap muslim yang
mukallaf tidak terlepas
dari 3 kondisi. Ketika
muslim dalam kondisi
mendapatkan ni’mat Allah,
maka mereka harus
bersyukur. Dalam kondisi
mendapat ujian atau
cobaan, mereka harus
bersabar. Dan dalam
kondisi berbuat dosa,
mereka harus beristighfar
dan bertaubat. Ketika
ketiga pensikapan
tersebut terus dilakukan
oleh setiap muslim dalam
menghadapi kondisinya,
maka dia akan
mendapatkan puncak
kebahagiaan.
Bukankah setiap muslim
hidup dalam limpahan
nikmat Allah? Allah telah
menciptakannya sebagai
manusia, makhluk yang
paling mulia. Kemudian
diberinya rezeki yang
baik-baik. Lahir ke dunia
dalam kondisi tidak
memiliki apa-apa, dan
sekarang banyak
mendapatkan fasilitas dari
Allah. Selanjutnya Allah
memberikan nikmat yang
paling besar yaitu nikmat
hidayah dan keimanan.
Dengan nikmat itu setiap
muslim dapat berjalan di
muka bumi dengan
arahan yang jelas. Inilah
kondisi yang dialami
setiap muslim, oleh
karenannya mereka harus
sentiasa bersyukur kepada
Allah dengan sepenuh
syukur. Mengakui bahwa
seluruh nikmat datang
dari Allah,
mengungkapkannya lewat
lisan dan
membuktikannya dengan
ketaatan dan pengabdian
kepada Allah.
Kondisi kedua yang tidak
akan lepas dari setiap
muslim juga adalah ujian.
“Dan sungguh akan kami
berikan cobaan
kepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa
dan buah-buahan. dan
berikanlah berita gembira
kepada orang-orang yang
sabar. (yaitu) orang-orang
yang apabila ditimpa
musibah, mereka
mengucapkan: “Inna
lillaahi wa innaa ilaihi
raaji’uun”. Mereka Itulah
yang mendapat
keberkatan yang
Sempurna dan rahmat dari
Tuhan mereka dan mereka
Itulah orang-orang yang
mendapat petunjuk”.
Dalam ayat ini Allah
memberikan kabar
gembira kepada orang-
orang yang sabar ketika
menghadapi ujian. Dan
sejatinya setiap muslim
akan mendapat ujian
sebagaimana disebutkan
dalam ayat diatas.
Dan kondisi ketiga, yang
tidal lepas dari setiap
muslim adalah khilaf dan
melakukan dosa. Inilah ciri
khas manusia secara
umum, karena mereka
adalah anak-cucu Adam
dan Hawa yang pernah
melakukan dosa. Tetapi
sebaik-baiknya orang
yang melakukan dosa
adalah beristighfar dan
bertaubat. Dan diantara
banyak bentuk istighfar
ada tuannya istighfar atau
Sayyidul Istighfaar, setiap
muslim harus dapat
menghafal dan
membacanya secara rutin,
” Ya, Allah Engkaulah
Rabbku tiada ilah kecuali
Engkau. Engkau telah
menciptakanku, aku
adalah hamba-Mu, dan
aku akan berusaha tetap
komitmen dijalan-Mu
sekuat tenagaku. Aku
mengakui segala ni’mat-
Mu padaku, dan aku
mengakui dosaku,
ampunilah aku. Karena
tidak Dzat yang dapat
mengampuni kecuali
Engkau”.
Ketika muslim dan
muslimah senatiasa dalam
sikap seperti ini, niscaya
mereka akan
mendapatkan
kebahagiaan, bukan hanya
di dunia, tetapi di dunia
dan akhirat. Semoga Allah
memberikan istiqomah
pada kita. Amin.
(dakwatuna)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar