Minggu, 11 Juli 2010

Asal usul nama indonesia

PADA zaman purba, kepulauan
tanah air kita disebut dengan
aneka nama. Dalam
catatan bangsa Tionghoa
kawasan kepulauan kita dinamai
*Nan-hai* (Kepulauan
Laut Selatan). Berbagai catatan
kuno bangsa India menamai
kepulauan ini *
Dwipantara* (Kepulauan Tanah
Seberang), nama yang
diturunkan dari kata
Sansekerta *dwipa* (pulau) dan
*antara* (luar, seberang). Kisah
Ramayana
karya pujangga Valmiki yang
termasyhur itu menceritakan
pencarian terhadap
Sinta, istri Rama yang diculik
Ravana, sampai ke
*Suwarnadwipa* (Pulau Emas,
yaitu Sumatra sekarang) yang
terletak di Kepulauan
Dwipantara.
Bangsa Arab menyebut tanah air
kita *Jaza'ir al-Jawi* (Kepulauan
Jawa). Nama
Latin untuk kemenyan adalah
*benzoe*, berasal dari bahasa
Arab *luban
jawi*(kemenyan Jawa), sebab
para pedagang Arab
memperoleh kemenyan
dari batang
pohon *Styrax sumatrana* yang
dahulu hanya tumbuh di
Sumatra. Sampai hari
ini jemaah haji kita masih sering
dipanggil "Jawa" oleh orang
Arab. Bahkan
orang Indonesia luar Jawa
sekalipun. "Samathrah, Sholibis,
Sundah, kulluh
Jawi (Sumatra, Sulawesi, Sunda,
semuanya Jawa)" kata seorang
pedagang di
Pasar Seng, Mekah.
Lalu tibalah zaman kedatangan
orang Eropa ke Asia. Bangsa-
bangsa Eropa yang
pertama kali datang itu
beranggapan bahwa Asia hanya
terdiri dari Arab,
Persia, India, dan Cina. Bagi
mereka, daerah yang terbentang
luas antara
Persia dan Cina semuanya adalah
"Hindia". Semenanjung Asia
Selatan mereka
sebut "Hindia Muka" dan daratan
Asia Tenggara dinamai "Hindia
Belakang".
Sedangkan tanah air kita
memperoleh nama "Kepulauan
Hindia" (*Indische
Archipel, Indian Archipelago,
l'Archipel Indien*) atau "Hindia
Timur" *(Oost
Indie, East Indies, Indes
Orientales)*. Nama lain yang juga
dipakai adalah
"Kepulauan Melayu" (*Maleische
Archipel, Malay Archipelago,
l'Archipel
Malais*).
Ketika tanah air kita terjajah oleh
bangsa Belanda, nama resmi
yang
digunakan adalah
*Nederlandsch-Indie* (Hindia
Belanda), sedangkan pemerintah
pendudukan Jepang 1942-1945
memakai istilah *To-Indo*
(Hindia Timur). Eduard
Douwes Dekker (1820-1887),
yang dikenal dengan nama
samaran Multatuli,
pernah mengusulkan nama yang
spesifik untuk menyebutkan
kepulauan tanah air
kita, yaitu *Insulinde*, yang
artinya juga "Kepulauan
Hindia" (bahasa Latin
*insula* berarti pulau). Tetapi
rupanya nama *Insulinde* ini
kurang populer.
Bagi orang Bandung, *Insulinde*
mungkin cuma dikenal sebagai
nama toko buku
yang pernah ada di Jalan Otista.
Pada tahun 1920-an, Ernest
Francois Eugene Douwes Dekker
(1879-1950), yang
kita kenal sebagai Dr. Setiabudi
(beliau adalah cucu dari adik
Multatuli),
memopulerkan suatu nama
untuk tanah air kita yang tidak
mengandung unsur
kata "India". Nama itu tiada lain
adalah Nusantara, suatu istilah
yang telah
tenggelam berabad-abad
lamanya. Setiabudi mengambil
nama itu dari Pararaton,
naskah kuno zaman Majapahit
yang ditemukan di Bali pada
akhir abad ke-19
lalu diterjemahkan oleh J.L.A.
Brandes dan diterbitkan oleh
Nicholaas
Johannes Krom pada tahun
1920.
Namun perlu dicatat bahwa
pengertian Nusantara yang
diusulkan Setiabudi jauh
berbeda dengan pengertian,
nusantara zaman Majapahit. Pada
masa Majapahit
Nusantara digunakan untuk
menyebutkan pulau-pulau di luar
Jawa (antara dalam
bahasa Sansekerta artinya luar,
seberang) sebagai lawan dari
*Jawadwipa*(Pulau Jawa). Kita
tentu pernah mendengar
Sumpah Palapa
dari Gajah Mada,
*"Lamun huwus kalah nusantara,
isun amukti palapa" *(Jika telah
kalah
pulau-pulau seberang, barulah
saya menikmati istirahat). Oleh
Dr. Setiabudi
kata nusantara zaman Majapahit
yang berkonotasi jahiliyah itu
diberi
pengertian yang nasionalistis.
Dengan mengambil kata Melayu
asli antara,
maka Nusantara kini memiliki arti
yang baru yaitu "nusa di antara
dua benua
dan dua samudra", sehingga
Jawa pun termasuk dalam
definisi nusantara yang
modern. Istilah nusantara dari
Setiabudi ini dengan cepat
menjadi populer
penggunaannya sebagai
alternatif dari nama Hindia
Belanda. lanjutkan >>
Sumber dari: pml94.multiply.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar